..:::!!!!! Selamat Datang !!!!!:::..Di Blog !!!!...Pondok Pesantren...!!! AT-TAUHID AL-ISLAMY CONTACT-085789915222 & EMAIL- (pp.tauhidislamy@gmail.com)

Hadits Ahad

Thursday, March 30, 2023 | Tauhid Islamy | 0 komentar

 

A.     Pengertian Hadits Ahad.

Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua,atau sedikit orang yang tidak mencapai derajat mutawatir. Hadits ahad dikategorikan sebagai hadits zhanny as-tsubut. Hadits ahad mempunyai sisi gelap yang memungkinkannya untuk ditolak atau diabaikan dan tidak diamalkan.

Kata ahad berarti “satu”. Khabar al-Wāhid adalah kabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan menurut istilah Ilmu Hadis, Hadis Ahad berarti :

هو ما لم يجمع شروط المتواتر.

Hadis yang tidak memenuhi syarat mutawatir”.

’Ajjaj al-Khathib, yang membagi hadis berdasarkan jumlah perawinya kepada tiga, bahwa ia mengatakan defenisi Hadis Ahad sebagai berikut:

هو ما رواه الواحد أ و اﻹ ثنان فاكثر مما لم تتوفو فيه شروط المشهور أو المتواتر.

Hadis Ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang perawi, dua atau lebih, selama tidak memenuhi syarat-syarat Hadis Masyhur atau Hadis Mutawatir”.

Dari definisi ‘Ajjaj al-Khathib di atas dapat dipahami bahwa Hadis Ahad adalah hadis yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah yang terdapat pada Hadis Mutawatir ataupun Hadis Masyhur.

 

B.      Klasifikasi Hadits Ahad

Jumlah rawi-rawi dalam thabaqat (lapisan) pertama, kedua, atau ketiga dan seterusnya pada hadits Ahad itu, mungkin terdiri dari tiga orang atau lebih, dua orang atau seorang. Para Muhadditsin memberikan nama-nama tertentu bagi hadits Ahad mengingat banyak-sedikitnya rawi-rawi yang berada pada tiap-tiap thabaqat dengan Hadits Masyhur, Hadits ‘Aziz, dan Hadits Gharib.

1.     Hadits Masyhur

Yang dimaksud dengan hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir.

Menurut ulama fiqhi, Hadits Masyhur itu adalah muradlif dengan Hadits-Mustafid. Sedang ulama yang lain membedakannya. Yakni, suatu hadits dikatakan dengan mustafid bila jumlah rawi-rawinya tiga orang atau lebih sedikit, sejak dari thabaqah pertama sampai dengan thabaqah terakhir. Sedang Hadits Masyhur lebih umum daripada Hadits Mustafid. Yakni jumlah rawi-rawi dalam setiap thabaqah tidak harus selalu sama banyaknya, atau seimbang. Dalam Hadits Masyhur, bisa terjadi jumlah rawi-rawinya dalam thabaqah pertama, sahabat, thabaqah kedua, tabi’iy, thabaqah ketiga, tabi’it-tabi’in, dan thabaqah keempat, orang-orang setelah tabi’it-tabi’in, terdiri dari seorang saja, baru kemudian jumlah rawi-rawi dalam thabaqah kelima dan seterusnya banyak sekali.

 

Macam-macam Hadits Masyhur

Istilah Masyhur yang diterapkan pada suatu hadits, kadang-kadang bukan untuk memberikan sifat-sifat hadits, yakni banyaknya rawi yang meriwayatkan suatu hadits, tetapi diterapkan juga untuk memberikan sifat suatu hadits yang mempunyai ketenaran di kalangan para ahli ilmu tertentu atau di kalangan masyarakat ramai. Sehingga dengan demikian ada suatu hadits yang rawi-rawnya kurang dari tiga orang, bahkan ada hadits yang tidak berasal (bersanad) sama sekalipun, dapat dikatakan dengan Hadits Masyhur.

Dari segi ini, maka Hadits Masyhur itu terbagi kepada:

1)       Masyhur di kalangan para Muhadditsin dan lainnya (golongan ulama ahli ilmu dan orang umum).

2)       Masyhur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu misalnya hanya masyhur di kalangan ahli hadits saja, atau ahli fiqhi saja, atau ahli tasawuf saja, atau ahli nahwu saja, atau lain sebagainya.

3)       Masyhur di kalangan orang-orang umum saja.

2.     Hadits ‘Aziz

Hadits ‘Aziz itu ialah Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian setelah itu, orang-orang pada meriwayatkannya.

Menurut pengertian tersebut, yang dikatakan hadits ‘Aziz itu, bukan saja yang hanya diriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap thabaqah, yakni sejak dari thabaqah pertama sampai dengan thabaqah terakhir harus terdiri dari dua-dua orang, sebagaimana yang di ta’rifkan oleh sebagian Muhadditsin, tetapi selagi pada salah satu thabaqahnya (lapisannya) saja, di dapati dua orang rawi, sudah bisa dikatakan hadits ‘Aziz.

Dengan demikian, hadits ‘Aziz itu dapat berpadu dengan hadits masyhur, seumpama ada dua hadits yang rawi-rawinya pada salah satu thabaqah terdiri dari dari dua orang, sedang pada thabaqah yang lain, terdiri dari rawi-rawi yang banyak jumlahnya.

3.     Hadits Gharib

Yang dimaksud Hadits Gharib ialah Hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyindirian dalam sanad itu terjadi.

Penyendirian rawi dalam meriwayatkan hadits itu, dapat mengenai personalianya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan selain rawi itu sendiri. Juga dapat mengenai sifat atau keadaan rawi tersebut. Artinya sifat atau keadaan rawi tersebut berbeda dengan sifat dan keadaan rawi-rawi lain yang juga meriwayatkan hadits tersebut.

Ditinjau dari segi bentuk penyendirian rawi, maka hadits gharib itu terbagi kepada dua macam. Yaitu Gharib-mutlak dan Gharib-nisbi.

Gharib-Mutlak (Fard)

Apabila penyendirian rawi dalam meriwayatkan hadits itu mengenai personalianya, maka hadits yang diriwayatkan disebut Gharib-mutlak. Penyendirian rawi hadits gharib-mutlak ini harus berpangkal ditempat ashlu’s-sanad (pangkal pulang dan kembalinya sanad) yakni tabi’iy, bukan sahabat. Sebab yang menjadi tujuan penyendirian rawi dalam hadits-gharib disini, ialah untuk menetapkan apakah masih bisa diterima periwayatannya atau ditolak sama sekali. Sedangkan jika yang menyendiri itu orang sahabat, sudah tidak perlu diperbincangkan lagi, karena sudah diakui oleh umum bahwa sahabat-sahabat itu adalah adil semuanya.

Penyendirian rawi dalam hadist-Gharib-mutlak itu, dapat terjadi pada tabi’iy saja (ashlus’s-sanad), atau pada tabi’it-tabi’in atau dapat juga pada seluruh rawi-rawinya di setiap thabaqah.

Gharib-Nisby

Apabila penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rawi, maka hadits yang diriwayatkannya disebut dengan Hadits Gharib-Nisby.

 

C.     KedudukanHaditsAhad

Bila hadits mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW, maka tidak demikian halnya dengan hadits ahad. Hadits ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah SAW, tetapi diduga (zanni) berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain bahwa hadits ahad mungkin benar berasal dari beliau.

Karena hadits ahad itu tidak pasti (ghairuqat’Iataughairumaqtu’), tetapi diduga (zanni) berasal dari Rasulullah SAW, maka kedudukan hadits ahad, sebagai sumber atau sumber ajaran islam, berada di bawah kedudukan hadits mutawatir. Ini berarti bahwa bila suatu hadits, yang termasuk kelompok hadits ahad bertentangan isinya dengan hadits mutawatir’ maka hadits tersebut ditolak, dan dipandang sebagai hadits yang tidak berasal dari Rasulullah SAW.

Bila diperinci lebih lanjut, kedudukan hadits-hadits ahad itu berbeda-beda, sejalan dengan taraf dugaan atau taraf kemungkinannya berasal dari Rasulullah SAW. Sebagian hadits-hadits tersebut lebih tinggi kedudukannya dari sebagian hadits yang lain, kendati semuanya sama-sama termasuk hadits ahad. Hadits ahad itu ada yang dinilai shahih ada yang dinilai hasan dan ada pula yang dinilai dha’if. Kedudukan hadits shahih lebih tinggi daripada hasan dan kedudukan hadits hasan lebihtinggi daripada hadits da’if.

Para imam berbeda pendapat kedudukan hadits ahad ini. Menurut  Imam Hanafi (Abu Hanifah), jika rawinya orang-orang yang adil maka hanya dapat dijadikan hujjah pada bidang amaliyah, bukan pada bidang akidah dan ilmiah. Imam Malik berpendapat hadits ini dapat dipakai menetapkan hukum-hukum yang tidak dijumpai dalam Al-Qur’an dan harus didahulukan dari qias zhonni (tidak pasti).

Imam syafi’i menegaskan, hadits ini dapat dijadikan hujjah jika rawinya memiliki empat syarat:

1.     Berakal

2.     Dhobit (yakni memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja dikehendaki)

3.     Serta mendengar langsung dari Nabi Muhammad Saw; dan

4.     Tidak menyalahi pendapat ulama hadits.

 

D.     Pembagian-PembagianHadits Ahaddari Segi Maqbuldan Mardud

Hadits yang diperiksa; diselidiki, dibahas dan dibicarakan oleh segenap ahli hadits yang mu’tabar, ialah: “Hadits-hadits yang diterima dari orang seseorang, atau orang ramai , tapi tak sampai kederajat mutawatir..

Akan tetapi, karena pada tiap-tiap bagian yang telah diterangkan, ada yang shahih, ada yang dla’if, kembalilah mereka membagi hadits Ahad itu mengingat shahih tidaknya, kepada 2 bagian besar pula, yaitu:Maqbul (yang diterima) danMardud (yang di tolak dan tak dapat diterima).

Hadits Maqbul

Maqbul pada lughat, ialah : “Ma’khudz = yang diambil, mushaddaq = yang dibenarkan (yang diterima)”.Pada ‘uruf ahli Hadits, sebagai yang diterangkan oleh Al Hafidh ibn Hajar Al Asqalani didalam kitab An Nakhbah, ialah:

ماَ دَلّ دَلِيْلٌ عَلَى رَجَحَانِ ثُبُوْ تِهِ

“Yang ditunjuki oleh sesuatu keterangan, bahwa Nabi s.a.w ada penyabdakannya. (Yakni adanya, lebih berat dari tidak adanya)”.

 

مَا تَوَا فَرَتْ فِيْهِ شُرُوْطُ القَبُوْلِ

“Yang sempurna padanya, syarat-syarat menerimanya”.

 Segala hadits maqbul itu, wajib diterima. Demikian pendapat jumhur ulama. Dan hadits maqbul itu dibagi kepada:

1.     Shahih li dzatihi = shahih dengan sendirinya.

2.     Shahih lighairihi = shahih karena selainnya.

3.     Hasan lid dzatihi = hasan dengan sendirinya.

4.     Hasan lighairihi = hasan karena selainnya.

Hadits maqbul dibagi menjadi dua:

1.     Ma’mul bihi (yang diamalkan) dipergunakan untuk menegakkan sesuatu hukum.

2.     Ghairu Ma’mul bihi (yang tidak diamalkan) tiada dapat dipergunakan untuk menjadi hujjah bagi sesuatu hukum Syara’.

Yang diamalkan, dinamakan: Ma’mul bihi (Ma’khudz bihi). Yang tidak diamalkan, dinamakan: Ghairu Ma’mul bihi (Ghairu Ma’khudz bihi).

Hadits-hadits yang diamalkan.

Hadits-hadits yang diamalkan, ialah:

1)        Segala Hadits muhkam.

2)        Segala Hadits Mukhtalif yang mungkin dikumpulkan dengan mudah.

3)        Segala Hadits yang Nasikh.

4)        Segala Hadits yang Rajih.

Hadits-hadits yang tiada diamalkan, ialah:

1)        Hadits mutawaqqaf fihi (Hadits yang berlawanan dengan yang lain yang tak dapat ditarjihkan dan tidak dapat diketahui mana yang terdahulu dan mana yang kemudian).

2)        Hadits Marjuh (hadits yang dilawani oleh yang lebih kuat dari padanya).

3)        Hadits Mansukh (hadits yang telah dihapuskan hukumnya).  *)Segala اpa hadits ini diterangkan  ditempatnya masing-masing.

Hadits Mardud

Mardud pada lughat, ialah: “Yang ditolak, yang tidak diterima”.Pada ‘Uruf ulama hadits, ialah:

مَالَمْ يَدُلُّ دَلِيْلُ عَلَى رَجَحَانِ ثُبُوْتِهِ, وَلَاعَدَمِ ثُبُوْتِهِ, بَلْ يَتَسَاوَى اْلأَمْرَانِ فِيْهِ

“Hadits yang tiada ditunjuki oleh sesuatu keterangan kepada berat adanya dan tiada ditunjuki kepada berat ketiadaannya. Adanya dengan tiadanya bersamaan.”

 

مَالَمْ تُوْجَدُفِيْهِ صِفَةُ الْقَبُوْل

ِ“Yang tiada didapati padanya, sifat menerimanya”.

 Tegasnya, segala hadits dla’if yang berbagai macam namanya; (yang akan kami perkatakan satu persatunya).

Dengan keterangan yang amat ringkas ini, telah dapat kita mengambil kesimpulan, bahwa hadits yang boleh diterima, tak boleh ditolak, ialah: hadits Maqbul atau hadits Shahih dan Hadits hasan yang Ma’mul Bihi. Selain dari pada itu, tak dapat diterima untuk dijadikan hujjah untuk mmenetapkan hukum murni ini.

E.      Penerimaan dan Penolakan Hadits Ahad

Keterikatan orang Islam terhadap informasi hadits ahad tergantungpada kualitas periwayatnya dan kualitas persambungan sanadnya. Bila sanad hadits itu tidak bersambung, atau periwayatnya tidak dapat  dipercaya kendati sanadnya bersambung maka hadits itu tidak dapat mengikat orang Islam untuk mempergunakannya sebagai dasar beramal. Sebaliknya, bila sanadnya bersambung dan kualitas periwayatnya bagus maka menurut Jumhur, hadits itu harus dijadikan dasar. Hanya saja, sebagian besar ulama berkesimpulan bahwa hadits Ahad itu melahirkan ‘ilmu zhann, bukan ‘ilmu yaqin. Sungguhpun hadits ini mendatangkan ‘ilmu zhann, tetapi bila ia merupakan zhann yang rajih, maka mengikat orang Islam untuk mengamalkannya. Tentu, yang dimaksud hadits Ahad yang dijadikan dasar beramal adalah yang memenuhi syarat, yang dikenal sebagai hadits shahih, setidak-tidaknya hasan.

Fungsi operasional hadits ahad dapat dibagi menjadi dua kelompok; pertama kelompok yang menolak mengamalkan hadits ahad. Termasuk kelompok ini adalah al-Qashani, sebagian ulama Zhahiriyah dan Ibnu Daud.Kedua, mereka yang memperbolehkan, kalau bukan justru mewajibkan, pengamalan hadits ahad  yang sudah digolongkan pada hadits sahih dan hasan. Sebab kalau sudah ditentukan kesahihannya, sekalipun telah bersifat zhanny at-tsubut, pastilah hadits tersebut datang dari Nabi Muhammad SAW, dan setiap sesuatu yang datang dari beliau pasti merupakan syariat dan syariat wajib yang diamalkan oleh umat Islam. Termasuk dalam kelompok ini adalah semua sahabat, tabi’in, dan tabiu at-tabi’in seta para imam agama yang mujtahidin. Jika ada ulama yang tidak mengamalkan hadits ahad, menurut Jumhur, hanyalah mereka yang tidak meyakini kesahihannya, bukan menolak hadits ahad.

Perbedaan tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut:

1.     Lokus operasional hadits ahad pada aspek keislaman

2.     Lokus operasional hadits hanya sekitar furu’iyah, tidak dalam masalah i’tiqadiyah karena keyakinan harus berdasarkan pada dalil yang qath’iy, sedang hadits ahad bersifat zanniy. (qath’iy : pasti, zanniy : tidak pasti).

3.     Lokus operasionalhadits ahad bukan pada nasikh al-ayat karena yang zhanny tidak bisa menasakh yang qath’iy. Diantara ulama yang berpandangan demikian ialah Imam as-Syafi’i memberbolehkannya.

4.     Lokus operasional hadits ahad bukan pada takhshish al-ayat yang kandungan maknanya ‘amm (umum). Termasuk dalam kelompok ini menurut Ibnu Burhan dan al-Qaththan, al az-zhahir (pengikut Daud bin Ali) dan sebagian-sebagian lagi ulama Irak.

5.     Lokus operasional hadits ahad bukan pada masalah yang hanya menyangkut masalah duniawi karena ada sabda nabi yang menyatakan bahwa: “Kamu semua lebih mengetahui masalah dunia kalian.” (H.R. Muslim).

Ulama juga berpendapat mengenai syarat-syarat pengamalan hadits ahad. Perbedaan tersebut adalah:

1.     Abu Hanifah memeberikan syarat-syarat:

1.     Para perawinya tidak menyalahi riwayatnya

2.     Riwayatnya tidak mengenai hal-hal yang bersifat umum,

3.     Riwayatnya tidak menyalahi qiyas

4.     Malikiyah memberikan syarat bahwa hadits ahad yang diamalkan tidak bertentangan dengan ‘uruf ulama (tradisi ulama) Madinah karena amalan-amalan mereka sama dengan riwayatnya.

5.     As-Syafi’i tidak mensyaratkan ke-mashyur-annya, tidak bertentangan dengan amalan ulama Madinah dan juga tidak mensyaratkan agar tidak menyalahi qiyas. Ia hanya memberikan syarat kesahihan sanad hadits yang ittishal (sambung sanadnya).

Karena adanya perbedaan dalam beberapa hal tersebut diatas, sebagian ulama Hanafiyah tidak mengkafirkan orang yang mengingkari hadits ahad, akan tetapi hanya dihukumi berdosa.

Alasan-alasan yang dikemukakan oleh Musthafa Al-Sib’ai bahwa hadits ahad diperlukan sebagai dasar syariat Islam.Antara lain:

1.     Diriwayatkanoleh Imam Malik dari Ishaq Ibn Abi Thalhah dari Anas Ibn Malik yang mengatakan, ”Aku pernah memberi Abu Thalhah, Abu ‘Ubaidah Ibn Al-Jarrah dan Ubai Ibn Ka’b minuman dari perasan anggur dan kurma.” Kemudian seseorang datang dan berkata. “sesungguhnya khamar itu telah diharamkan.” Maka Abu Thalhah berkata, ”hai Anas, buanglah dan ambil botol itu dan pecahkanlah!.” Kemudian minuman itu dibuang dan botolpun dipecahkan.  Sebelum datang larangan ini, masyarakat memahami bahwa minuman keras itu boleh diminum. Beberapa orang yang disebut di dalam riwayat ini termasuk berpengetahuan seperti ini. Kedatangan seseorang dengan sebuah berita membuat mereka mempercayai berita tersebut, kendati diriwayatkan secara ahad.

2.     Hukuman potong tangan dapat dijatuhkan kepada pencuri yang mencuri harta genap satu nishab apabila dipersaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi terpercaya. Kesaksian dua orang saksi juga menggambarkan bahwa sebenarnya riwayat (kesaksian) mereka termasuk berita ahad juga.

F.      Contoh-Contoh HaditsAhad

Dari Shahih Bukhariyaitu sebuah hadits ahad dan gharib.

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Sesungguhnya amal itu dengan niat, dan sesungguhnya bagi masing-masing orang apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yangakan ia dapatkan atau kepada perempuan yang akan dia nikahi maka (hasil) hijrahnya adalah apa yang dia niatkan”. [Muttafaqun ‘alaih].

Hadits ini berbicara tentang salah satu diterimanya amal, tentang ikhlas yang merupakan syarat diterimanya amal seseorang. Hadits ini, jelas merupakan hadits ahad, dan termasuk ke dalam bagian hadits gharib, karena tidak diriwayatkan, kecuali dari jalan Umar bin Khaththab. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Al Qamah bin Waqqash Al Laitsi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Muhammad bin Ibrahim At Taimi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Yahya bin Sa’id Al Anshari. Kemudian dari beliau ini diriwayatkan oleh puluhan perawi, bahkan mungkin ratusan. Awalnya mutawatir, akhirnya ahad dan gharib. Ini salah satu contoh hadits yang diterima oleh para ulama, bahkan hampir sebagian besar ulama.

Hadits inidiriwayatkan oleh Imam Muslim dan yang lainnya. Hadits ini,selain ahadjuga gharib, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ

Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda, ‘Iman itu ada enam puluh cabang lebih dan rasa malu merupakan salah satu cabang iman”.

Hadits ini menjelaskan tentang cabang keimanan. Yakni, iman itu mempunyai enam puluh cabang lebih. Dan di riwayat Imam Muslim,

الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ

Iman itu tujuhpuluh cabang lebih, Yang paling tinggi adalah ucapan laailaha illallaah, dan yang paling rendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu merupakan salah satu cabang iman”.

 

Hadits ini juga berbicara tentang aqidah, hukum, akhlak dan adab, seperti menghilangkan gangguan dari jalan. Padahal ini merupakan hadits ahad dan gharib. Jikalau kita menerima kaidah mereka (Hizbut Tahrir), maka tertolaklah hadits ini, karena tidak diriwayatkan secara mutawatir.

Diriwayatkan dari jalan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ

SesungguhnyaRasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, tidak akan beriman (sempurna keimanan) salah seorang diantara kalian sampai aku lebih dicintai daripada bapak dan anaknya”.

Dan hadits nomor 15, dari jalan Anas:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

RasulullahShallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda, ‘Tidak akan beriman (tidak akan sempurna keimanan) salah seorang diantara kalian sampai aku lebih dicintai daripada bapak dan anaknya dan semua orang”.

Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ada tiga hal, jika ketiganya terkumpul pada diri seseorang maka ia akan mendapatkan manisnya iman; (yaitu) Allah dan Rasulnya lebih dicintai daripada selain keduanya, mencintai seseorang, ia tidak mencintainya kecuali karena Allah dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana dia benci dilempar kedalam api neraka”.

Hadits ini juga berbicara tentang cinta kepada Allah, RasulNya dan juga keimanan. Bahwa iman itu punya rasa. Demikian ini adalah masalah aqidah.

Hadits nomor 32, dari jalan Abdullah bin Mas’ud.

قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّنَا لَمْ يَظْلِمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Ibnu Mas’ud mengatakan, “ketika turun firman Allah (yang artinya) Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al An’am 82), para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Siapakah diantara kita yang tidak berbuat zhalim ?’ lalu Allah menurunkan firmanNya (yang artinya), sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezhaliman yang besar

Ketika ayat Al An’am 82 diturunkan, para sahabat merasa susah dan berat. Mereka mengatakan, siapakah diantara kita yang tidak menzhalimi dirinya? Maka Rasulullah n menjelaskan kepada mereka, bahwa bukan itu yang dimaksud; tidakkah kalian mendengar perkataan Luqman kepada anaknya? Jadi zhulm (kezhaliman) disini, maksudnya adalah syirik. Ini juga berbicara tentang aqidah, antara tauhid dan syirik.

Hadits no. 39, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ

Sesungguhnya agama itu adalah mudah

Ini juga berbicara tentang aqidah, bahkan berbicara tentang agama ini secara keseluruhan. Bahwa ajaran Islam, pengamalan dan dakwahnya adalah mudah. Apakah ini tidak berbicara aqidah? Hadits ini berbicara tentang Islam, dan tentunya kaffah. Sebagaimana Allah memerintahkan kepada kita untuk masuk Islam secara kaffah (menyeluruh).

Hadits yang masyhur dan telah diterima oleh para ulama.

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

Sesungguhnyamantera-mantera (yang bathil), jimat dan pelet termasuk bagian syirik”.

 

Tentunya mantera-mantera yang dimaksudkan disini adalah mantera yang bathil. Karena ruqyah (pengobatan dengan bacaan) itu ada dua, ada yang syar’i dan yang tidak syar’i.


Hadits Ahad Reviewed by Tauhid Islamy on Thursday, March 30, 2023 Rating: 4.5
Share on: Twitter, Facebook, Delicious, Digg, Reddit

Ditulis Oleh : Tauhid Islamy ~ Tips dan Trik Blogspot

Christian angkouw Artikel Hadits Ahad ini ditulis oleh Tauhid Islamy pada hari Thursday, March 30, 2023. Terimakasih atas kunjungan Anda pada blog ini. Kritik dan saran tentang Hadits Ahad dapat Anda sampaikan melalui kotak komentar dibawah ini. Bagi Shobat yang ingin mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel ini, tolong letakkan link dibawah ini sebagai sumbernya

:: Get this widget ! ::

0 komentar:

Trimakasih atas kunjungan anda.. Blog ini Dofollow) Silahkan menaruh kritik dan saran pada kotak komentar ini, asal tidak SPAM dan bagi yang mencantumkan link, akan terhapus otomatis.